Tata Cara Mandi Wajib Rasulullah
Bagi Anda yang ingin mengetahui tata cara dari mandi wajib rasulullah, maka simaklah ulasan berikut ini:
Hadis ke 1 :
Aisyah berkata, Rasulullah memulai
mandi janabah dengan diawali membaca niat, selanjutnya mencuci kedua
tangan, dilanjutkan dengan berwudlu, lalu menyela pangkal – pangkal
rambut hingga air yang dibasahi ke dasar rambut. Lalu menyiramkannya
lagi dari atas kepala sebanyak tiga kali kemudian dilanjutkan menyiram
seluruh tubuh. ( HR. Bukhari dan Muslim )
Hadis ke 2 :
Aisyah mengatakan, Bahwa ia melakukan
mandi bersama dengan rasulullah melalui satu tempayan, dan kami pun aku
bersama rasulullah bersama – sama mengambil air dari tempayan. ( HR.
Muslim )
Hadis ke 3 :
Maimunah binti al – Harits ra,
mengatakan : Sayalah yang menyiapkan air rasulullah mandi janabah. Lalu
Maimunah menuangkan air menggunakan tangan kanannya di atas tagan kiri
sebanyak dua hingga tiga kali, lalu dilanjutkan mencuci bagian
kemaluannya, setelah itu menggosok tangannya dengan tanah atau di
gosokkan di tembok sebanyak dua hingga tiga kali.
Dilanjutkan Rasulullah berkumur dan
menghirup air ( istinsyaq ). Kemudian beliau mencuci mukanya dan juga
kedua tangannya hingga ke siku. Kemudian beliau menyiram kepalanya
lanjut seluruh tubuhnya. Lalu beliau berpindah tempat, setelah itu
mencuci kedua kakinya.
Dilanjutkan Maimunah memberi kain
rasulullah seperti kain handuk, akan tetapi beliau tidak mau dan beliau
lebih memilih menyeka air yang ada di tubuhnya menggunakan tangannya. (
HR. Bukhari dan Muslim).
Niat dan Doa Mandi Wajib atau Mandi Besar atau Mandi Junub
Setiap akan melakukan mandi wajib
maka harus diawali dengan niat yang benar agar mandi wajib tersebut bisa
bernilai ibadah di hadapan Allah SWT serta supaya Allah SWT menerima
segala macam amalan yang akan dilakukan setelah melakukan mandi wajib.
Pada saat akan melakukan mandi wajib,
maka niatnya tidak harus dibaca dengan lantang, hanya dibaca di dalam
hati saja sudah cukup dengan niat mandi wajib untuk mensyucika diri dari
hadas besar. Atau menggunakan lafal arab agar lebih meluruskan niat.
a. Do’a niat mandi wajib secara umum
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَكْبَرِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Yang artinya: saya niat mandi wajib untuk mensucikan hadast besar fardhu karena Allah ta’aala.
b. Do’a niat mandi wajib setelah haid
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْحَيْضِ ِللهِ تَعَالَى“Nawaitul Ghusla Lifraf il Hadatsil Akbari minal Haidil Lillahi Ta’ala”
Yang Artinya: saya niat mandi wajib untuk mensucikann hadast besar dari haid karena Allah Ta’ala.
c. Do’a niat mandi wajib setelah nifas
“Nawaitul Ghusla Liraf il Hadatsil Akbari Minal Nifasi Fardhlon Lillahi Ta’ala.”Yang Artinya: saya niat mandi wajib untuk mensucikan hadast besar dari nifas fardu karena Allah ta’ala.
d. Do’a niat mandi wajib setelah berhubungan suami – istri / keluar mani / mimpi basah
“Nawaitu Ghusla Lirafil Hadatsil Akbari AnJami il Badaanii Likhuruu ji Mani yyi Minal Innaabati Fardhan Lillahi Ta’aala”.Terjemahnya : aku niat mandi untuk menghilangkan hadas besar dari badan ini karena keluarnya mani dari janabah fardhu karena Allah taala.
Landasan Perintah Untuk Mandi Wajib atau Mandi Junub
Landasan perintah mandi wajib sudah jelas di dalam Al – Quran, yakni berada dalam Al – Quran surat Al-Maidah ayat 6 dan Al – Quran surat An – Nisa ayat 43.Hal – Hal yang Menjadikan Mandi Wajib atau Mandi Junub
Mandi wajib harus dilakukan apabila di temui hal – hal berikut ini:Setelah berhentinya darah haid wanita
Dalam hadis disebutkan bahwasanya, Aisyah ra, Nabi Muhammad saw mengatakan pada Fathimah binti Abi Hubaisy. Apabila haid datang padamu maka hendaknya kamu tidak melaksanakan shalat. Jika darah haid telah berhenti maka hendaklah melakukan mandi wajib dan mendirikan shalat.(HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).
- Setelah berhentinya Darah Nifas Bagi Wanita. Hukum darah nifas ini dijelaskan di dalam al – quran dan hadis sama dengan darah haid.
- Keluarnya air mani diiringi dengan syahwat. Ada yang harus diperhatikan antara air mani air madzi dan air wadhi, perbedaannya dijelaskan sebagai berikut:
Air mani yang keluar dari kemaluan ini memiliki warna putih, dan baunya khas seperti bau telur yang kering. Jika salah satu dari tanda – tanda di atas ditemui maka bisa disimpulkan bahwa cairan tersebut yang keluar adalah air mani. Air mani ini memiliki hukum yang tidak najis namun karena keluarnya air mani ini dihukumi harus melakukan mandi wajib.
Air Madzi adalah keluarnya cairan yang berasal dari alat kelamin laki – laki karena adanya gejolak syahwat, namun gejolak syahwatnya masih belum mencapai puncak yang sempurna. Dan ketika keluar tidak membuat tubuh menjadi lemas.
Wujud dari air Madzi ini lumayan bening, encer, dan terasa lengket lengket tapi tidak ada bau. Cairan madzi memiliki hukum najis ringan, jika cairan tersebut keluar maka tidak membuat puasa batal namun untuk membuatnya suci kembali harus dengan berwudhu.
Air Wadhi adalah keluarnya cairan dari alat kelamin laki – laki dikarenakan badannya mengalami kelelahan yang berat atau setelah mengangkat beban yang terlalu berat, atau mungkin terkadang keluarnya bersamaan pada waktu sedang kencing.
Wujud air wadi ini putih, teksturnya agak kental dan terlihat keruh. Wadi ini memiliki hukum najis ringan, namun untuk mensucikannya tidak perlu mandi cukup hanya melakukan wudlu seperti akan mau shalat.
Saling bertemunya dua kelamin walaupun tidak mengeluarkan air mani.
Dalam sebuah hadis dijelaskan dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda bahwasanya apabila seorang laki – laki duduk di beberapa bagian anggota tubuh istrinya ( bersetubuh ) lalu ia dengan niat yang sempurna, maka hukumnya wajib melakukan mandi (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)Walaupun air mani tidak sampai keluar maka hukumnya tetap harus mandi. Hadist dari ‘Aisyah ra, ia menjelaskan, ada seorang laki – laki mengajukan pertanyaan pada Nabi Muhammad saw mengenai laki – laki yang hendak bersetubuh dengan istrinya akan tetapi tidak sampai air maninya keluar.
Apakah sepasang suami istri tersebut wajib melaksanakan mandi wajib ? sedangkan pada saat itu Aisyah duduk disamping, maka Nabi Muhammad bersabda bahwasanya “Akupun demikian pernah menyetubuhi wanita ini ( Aisyah ) aka tetapi tidak mengeluarkan air mani, lantas kami kemudian mandi.” (HR. Muslim no. 350)
Pada saat orang kafir menjadi mualaf atau baru saja masuk islam
Dalam hadis diriwayatkan Qois bin Ashim ra. Beliau telah masuk islam, dan nabi Muhammad saw memerintahkannya mandi yakni dengan air dan daun bidara. (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).Pada saat seseorang dijemput ajalnya atau meninggal dunia.
Pada saat seseorang sudah di jemput dengan ajalnya maka dia wajib melaksanakan mandi, tapi dengan cara dimandikan oleh orang lain. Hukumnya memandikan mayat yakni fardlu kifayah. Yang dimaksudkan adalah meskipun hanya dilakukan beberapa orang maka gugur kewajiban yang lainnya untuk melakukan.Dalam sebuah hadis desebutkan, sebuah perintah Rasulullah kepada Ummu kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada pelayat dan wanita yang memandikan anaknya, “maka mandikanlah mayat tersebut dengan membasahi tubuhnya dengan air dan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih sampai kalian anggap cukup dan terakhir berilah kapur barus atau minyak wewangian. (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).
Untuk semua orang muslim ketika ia sudah dijemput oleh ajalnya maka wajib hukumnya dimandikan, baik itu perempuan atau laki – laki, tua atau muda, anak – anak atau dewasa. Dan seorang muslim yang tidak wajib dimandikan adalah seorang yang matinya syahid dalam keadaan berperang.
Meninggalnya bayi karena keguguran tapi sudah memiliki roh di dalam tubuhnya.
Dalam hadis dan juga ilmu medis dijelaskan bahwasanya bayi memilki roh pada tubuhnya ketika ia berada dalam kandungan pada usia diatas 120 hari.Hal – hal yang tidak diperbolehkan ketika belum melakukan mandi wajib atau mandi besar.
Berikut ini adalah beberapa hal yang tidak diperbolehkan ketika belum mandi wajib dan dia masih berhadast besar. Jadi seseorang yang sedang hadast besar tidak diperbolehkan beberapa hal ini.- Tidak boleh menyentuh mushaf al – Quran dan membacanya.
- Tidak boleh melaksanakan sholat baik itu sholat wajib atau sholat sunnah.
- Tidak boleh melakukan I’tikaf atau berdiam diri di masjid.
- Tidak boleh melakukan puasa baik puasa wajib ataupun puasa sunnah.
- Tidak boleh melakukan Thawaf pada saat berhaji.
- Tidak boleh di cerai ataupum diberikan talak hingga dalam keadaan suci lagi.
Hal – hal yang wajib di perhatikan ketika akan melaksanakan mandi wajib atau mandi besar.
- Gunakanlah air yang suci, air bersih tanpa ada campuran apapun tidak terkena kotoran yang bisa merubah baud an sifatnya.
- Mandi wajib dihukumi sebagai pengganti wudlu.
- Seluruh tubuh tanpa terkecuali harus terkena air secara merata.
- Menutupi aurat karena hukumnya wajib.
- Tidak menggunakan penutup kepala.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Rukun Mandi
Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan,
Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.
Tata Cara Mandi yang Sempurna
Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:
Hadits kedua:
Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.
Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”
Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”
Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”
Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?
Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini ada kelapangan.”[6]
Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.
Ketujuh: Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,
Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?
Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:
Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.
Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,
Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.
Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas darah haidh.
Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?
Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,
Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,
Abu Bakr Ibnul ‘Arobi berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu telah masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini.
Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.
Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?
Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir hadits disebutkan,
ronaldo kristo
19.05
New Google SEO
Bandung, Indonesia
Tulisan kali ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya mengenai
lima hal yang menyebabkan mandi wajib. Saat ini kami akan memaparkan
serial kedua dari tiga serial secara keseluruhan tentang tata cara mandi
wajib (al ghuslu). Semoga pembahasan kali ini bermanfaat.
Niat, Syarat Sahnya Mandi
Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk
membedakan manakah yang menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal
mandi tentu saja mesti dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah
niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)Rukun Mandi
Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.
Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ
“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini
menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.”
Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,
أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّى ثَلاَثاً فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِى ثُمَّ أُفِيضُهُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِى
“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan
pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ
الْجَنَابَةِ قَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ
ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ ».
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang
mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika
mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah
kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang
lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.
Tata Cara Mandi yang Sempurna
Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ
– صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ
إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ
يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ
فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى
رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى
جِلْدِهِ كُلِّهِ
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya.
Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau
memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit
kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan
kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan
air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)Hadits kedua:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا
مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى
شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ،
ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ
غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ
تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya
dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau
menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci
kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah.
Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu
beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh
kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau
bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di
tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.
Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”
Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”
Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”
Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?
Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini ada kelapangan.”[6]
Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.
Ketujuh: Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ ،
وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ
بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ،
أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ
جَسَدِهِ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau
mencuci tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian
beliau mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya
hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau
mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan
lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كُنَّا إِذَا أَصَابَتْ
إِحْدَانَا جَنَابَةٌ ، أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهَا ،
ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا الأَيْمَنِ ، وَبِيَدِهَا
الأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الأَيْسَرِ
“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil
air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil
air dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu
kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke
bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan
ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap
perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?
Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:
Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتِ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ فَقَالَ «
تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ
الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا
حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ.
ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا ». فَقَالَتْ
أَسْمَاءُ وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَ « سُبْحَانَ اللَّهِ
تَطَهَّرِينَ بِهَا ». فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِى ذَلِكَ
تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ. وَسَأَلَتْهُ عَنْ غُسْلِ الْجَنَابَةِ
فَقَالَ « تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ – أَوْ
تُبْلِغُ الطُّهُورَ – ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى
تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ »
“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
mandi wanita haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian
hendaklah mengambil air dan daun bidara,
lalu engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian hendaklah
engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan
keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian hendaklah engkau
menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil kapas
bermisik, lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia
dikatakan suci dengannya?” Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah
kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal
tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas darah haidh yang ada (dengan kapas
tadi)”. Dan dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub,
maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan
sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci kemudian
kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar
kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.
Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا
“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu
menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.”
Dalil ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti
halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub disebutkan,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ
“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mengguyurkan air padanya.”Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.
Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas darah haidh.
Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?
Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,
سُئِلَ عَنِ الْوُضُوءِ بَعْدَ الْغُسْلِ؟ فَقَالَ:وَأَيُّ وُضُوءٍ أَعَمُّ مِنَ الْغُسْلِ؟
Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab, “Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf)Abu Bakr Ibnul ‘Arobi berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu telah masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini.
Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.
Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?
Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir hadits disebutkan,
فَنَاوَلْتُهُ ثَوْبًا فَلَمْ يَأْخُذْهُ ، فَانْطَلَقَ وَهْوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ
“Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak
mengambilnya, lalu beliau pergi dengan mengeringkan air dari badannya
dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276). Berdasarkan hadits ini,
sebagian ulama memakruhkan mengeringkan badan setelah mandi. Namun yang
tepat, hadits tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan beberapa alasan:- Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih mengandung beberapa kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak mengambil kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya yang bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan badan ketika itu. Boleh jadi kain tersebut mungkin sobek atau beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.
- Hadits ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengeringkan badan sehabis mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau, maka tentu saja beliau tidak dibawakan handuk ketika itu.
- Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain bukanlah makruh karena keduanya sama-sama mengeringkan.
MACAM-MACAM NAJIS
Secara bahasa najis berarti segala sesuatu yang dianggap kotor meskipun
suci. Bila berdasarkan arti harfiah ini maka apa pun yang dianggap kotor
masuk dalam kategori barang najis, seperti ingus, air ludah, air sperma
dan lain sebagainya. Sedangkan secara istilah ilmu fiqih najis adalah
segala sesuatu yang dianggap kotor yang menjadikan tidak sahnya ibadah
shalat (lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah: 2008], hal. 72).
Di
dalam fiqih najis dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni najis
mukhaffafah, najis mutawassithah, dan najis mughalladhah. Sebagaimana
ditulis oleh para fuqaha dalam kitab-kitabnya, salah satunya oleh Syekh
Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safiinatun Najaa:
فصل
النجاسات ثلاث: مغلظة ومخففة ومتوسطةالمغلظة نجاسة الكلب والخنزير وفرع
احدهما والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين
والمتوسطة سائر النجاسات
Artinya:“Fashal, najis ada
tiga macam: mughalladhah, mukhaffafah, dan mutawassithah.Najis
mughalladhah adalah najisnya anjing dan babi beserta anakan salah satu
dari keduanya. Najis mukhaffafah adalah najis air kencingnya bayi
laki-laki yang belum makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua
tahun. Sedangkan najis mutawassithah adalah najis-najis lainnya.”
Untuk lebih rincinya perihal apa saja yang termasuk barang najis—terutama najis mutawassithah—silakan baca artikel berjudul "Mengenal Barang-barang Najis Menurut Fiqih"..
Ketiga
kategori najis tersebut masing-masing memiliki cara tersendiri untuk
menyucikannya. Namun sebelum membahas lebih jauh tentang bagaimana cara
menyucikan ketiga najis tersebut perlu diketahui istilah “najis
‘ainiyah” dan “najis hukmiyah” terlebih dahulu.
Najis ‘ainiyah adalah najis yang memiliki warna, bau dan rasa. Sedangkan najis hukmiyah tidak
ada lagi adalah najis yang tidak memiliki warna, bau, dan rasa. Dengan
kata lain najis ‘ainiyah adalah najis yang masih ada wujudnya, sedangkan
najis hukmiyah adalah najis yang sudah tidak ada wujudnya namun secara
hukum masih dihukumi najis. Pengertian ini akan lebih jelas pada
pembahasan tata cara menyucikan najis.
Adapun tata cara menyucikan najis sebagai berikut:
1. Najis mughalladhah dapat
disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali
basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Namun sebelum
dibasuh dengan air mesti dihilangkan terebih dulu ‘ainiyah atau wujud
najisnya. Dengan hilangnya wujud najis tersebut maka secara kasat mata
tidak ada lagi warna, bau dan rasa najis tersebut. Namun secara hukum
(hukmiyah) najisnya masih ada di tempat yang terkena najis tersebut
karena belum dibasuh dengan air.
Untuk benar-benar
menghilangkannya dan menyucikan tempatnya barulah dibasuh dengan air
sebanyak tujuh kali basuhan dimana salah satunya dicampur dengan debu.
Pencampuran air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara:
Pertama,
mencampur air dan debu secara berbarengan baru kemudian diletakkan pada
tempat yang terkena najis. Cara ini adalah cara yang lebi utama
dibanding cara lainnya.
Kedua, meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.
Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya debu dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.
2. Najis mukhaffafah yang
merupakan air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan dan minum
selain ASI dan belum berumur dua tahun, dapat disucikan dengan cara
memercikkan air ke tempat yang terkena najis.
Cara memercikkann
air ini harus dengan percikan yang kuat dan air mengenai seluruh tempat
yang terkena najis. Air yang dipercikkan juga mesti lebih banyak dari
air kencing yang mengenai tempat tersebut. Setelah itu barulah diperas
atau dikeringkan. Dalam hal ini tidak disyaratkan air yang dipakai untuk
menyucikan harus mengalir.
3. Najis mutawassithah dapat
disucikan dengan cara menghilangkan lebih dahulu najis ‘ainiyah-nya.
Setelah tidak ada lagi warna, bau, dan rasan najis tersebut baru
kemudian menyiram tempatnya dengan air yang suci dan menyucikan.
Sebagai
contoh kasus, bila seorang anak buang air besar di lantai ruang tamu,
umpamanya, maka langkah pertama untuk menyucikannya adalah dengan
membuang lebih dahulu kotoran yang ada di lantai. Ini berarti najis
‘ainiyahnya sudah tidak ada dan yang tersisa adalah najis hukmiyah.
Setelah yakin bahwa wujud kotoran itu sudah tidak ada (dengan tidak
adanya warna, bau dan rasa dan lantai juga terlihat kering) baru
kemudian menyiramkan air ke lantai yang terkena najis tersebut. Tindakan
menyiramkan air ini bisa juga diganti dengan mengelapnya dengan
menggunakan kain yang bersih dan basah dengan air yang cukup.
Mengetahui
macam dan tata cara menyucikan najis adalah satu ilmu yang mesti
diketahui oleh setiap muslim mengingat hal ini merupakan salah satu
syarat bagi keabsahan shalat dan ibadah lainnya yang mensyaratkannya.
Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)
Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/82513/tiga-macam-najis-dan-cara-menyucikannya


